Isu kenaikan PPN menjadi 12% di tahun 2025 menjadi momok tersendiri bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Bagaimana tidak kenaikan PPN secara langsung akan mendorong kenaikan harga ke konsumen.
Sebagai Wajib Pajak, terutama pengusaha, dampak PPN akan begitu terasa ketika omzet telah melebihi 4,8 milyar setahun. sesuai ketentuan, WP dengan peredaran usaha di atas 4,8 milyar wajib untuk ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Salah satu kewajiban PKP adalah menerbitkan faktur pajak dan memungut PPN atas penyerahan barang/jasa.
di bagian 1 ini, kita akan membahas bagaimana penentuan tingkat laba bagi WP yang baru saja ditetapkan sebagai PKP. sebagai PKP pemula, tentu saja WP harus menambahkan PPN ke dalam harga barang/jasanya. Hal ini otomatis akan menimbulkan beberapa isu, antara lain isu tingkat harga yang dapat diterima di tingkat konsumen, dan isu penentuan laba yang akan diambil oleh pengusaha itu sendiri.
sebagai contoh, pemikiran pengusaha secara umum saat menjadi PKP adalah menambahkan PPN ke dalam harga barang/jasa yang dijualnya. kita ambil contoh barang X, harga awal sebelum PKP adalah Rp. 100,-, maka dengan adanya penambahan PPN dengan tarif 11% misalnya, maka harga barang adalah Rp. 100,- ditambah (Rp. 100 X 11%) = Rp. 111,-
dengan contoh perhitungan di atas, maka dari sisi pengusaha, tidak ada masalah dengan tingkat laba, tp bagaimana dengan persepsi konsumen. karena kenaikan ini pasti akan merubah perilaku pembelian konsumen yang pada akhirnya akan mempengaruhi laba rugi usaha.
jadi, bagaimana pengusaha yang baru mendapatkan status PKP menentukan tingkat laba dan harga barang agar tetap survive? simak lanjutannya di bagian 2
Komentar